Boucing Multi-Colored Bow Tie Ribbon

Kamis, 08 Oktober 2015

Mengapa teman saya memutuskan berobat ke luar negeri (Malaysia)?

Diposting oleh Unknown di 18.46 2 komentar
Setiap tahun lebih dari 500.000 pasien luar negeri berobat ke Malaysia dan 56 persen diantaranya berasal dari Indonesia.
Akhir pekan kemarin, saya dan teman-teman sedang melakukan gathering di suatu tempat. Kami berbincang mengenai banyak hal terutama terkait dengan tenaga kesehatan, dan tiba-tiba salah seorang teman saya mulai curhat (curahan hati) tentang pelayanan yang pernah diberikan oleh tenaga kesehatan (Dokter) di kotanya yaitu Medan.
Suatu ketika dia mengalami sakit mata, dimana pada bola matanya terlihat seperti ada bercak putih yang menyebabkan penglihatannya terganggu. Sesegera mungkin dia pun berobat ke Rumah Sakit X. Rumah Sakit (RS) tersebut merupakan RS swasta khusus mata dan menurutnya RS tersebut merupakan RS ternama di kotanya. Setelah diperiksa, dokternya mengatakan "kemungkinan gejalanya ini katarak", untuk mengobatinya dia diberikan pil dan obat tetes mata dengan total biaya kurang lebih sebesar 500 ribu.
Seminggu kemudian bukannya membaik malah matanya semakin sakit dan memerah. Dia kemudian pergi ke RS lain dan lagi-lagi RS tersebut RS swasta. Beda halnya dengan dokter sebelumnya dokter di RS tersebut mengatakan "terjadi peradangan jadi perlu dilakukan operasi". Bukannya setuju dia menolaknya, dia memilih berobat ke RS umum pemerintah. Ketika berobat ke RS tersebut hasilnya pun sama saja bahkan dokternya bingung dan balik bertanya "Apa ini?!". 
Tidak puas dengan semua hasil diagnosis yang dia terima, dia memutuskan untuk berangkat ke Malaysia untuk melakukan pengobatan terakhir. Dia pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, bahkan kemungkinan paling besar menurutnya adalah mengalami kebutaan, dikarenakan matanya yang sudah semakin parah.
Beberapa minggu setelahnya, dia menemui dokter di RS X di Malaysia dan menyatakan keluhannya. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan dan setelah diperiksa dokternya hanya mengatakan "OH..ini..", kemudian dengan cepat dokter itu melakukan operasi kecil langsung pada hari itu. Dokter itu mengambil sesuatu di bola matanya dan seketika bercak putih yang terlihat sebelumnya pun tidak ada lagi. Tidak hanya bercaknya yang hilang tapi rasa sakit di matanya pun semakin membaik. Ternyata bercak putih itu merupakan benda kecil halus yang menjadi sangat lengket di bola matanya sehingga menghalangi pandangannya. Setelah selesai melakukan semua pemeriksaan dia kemudain mengambil obat berdasarkan resep dokter dan biaya yang dia keluarkan semuanya tidak lebih dari 100 ribu rupiah. 
Menurutnya selama pelayanan di RS di Malaysia tersebut dia merasa lebih puas, dengan bukti dari hasil yang diterimanya hanya sehari berobat.
Karena permasalahan salah diagnosis tersebut dan pelayanan RS yang tidak memuaskan dia memutuskan untuk berobat di Malaysia. Dia mengatakan jika suatu hari dia atau anggota keluarganya ada yang sakit, mereka lebih memilih untuk berobat di luar negeri.
 
Artikel terkait:
http://kapdam.blogspot.co.id/2015/01/mengapa-orang-indonesia-berobat-ke-luar.html#.VhccgeIQubM
http://sinarharapan.co/news/read/32998/mengapa-orang-indonesia-suka-berobat-ke-malaysia-

Rabu, 04 Desember 2013

AKUNTANSI RUMAH SAKIT SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM (BLU)

Diposting oleh Unknown di 04.34 0 komentar
AKUNTANSI RUMAH SAKIT SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM (BLU)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Rumah Sakit Pemerintah merupakan unit kerja dari Instansi Pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Permasalahan yang selalu timbul adalah sulitnya meramalkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan masyarakat maupun kebutuhan sumber daya untuk mendukungnya. Di lain pihak Rumah Sakit harus siap setiap saat dengan sarana, prasarana tenaga maupun dana yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan tersebut. Di samping itu Rumah Sakit sebagai unit sosial dihadapkan pada semakin langkanya sumber dana untuk membiayai kebutuhannya, padahal di lain pihak Rumah Sakit diharapkan dapat bekerja dengan tarif yang dapat terjangkau oleh masyarakat luas. (Henni Djuhaeni, 2006)
Amanat UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit bahwa tahun 2011 diharapkan semua Rumah Sakit pemerintah (RS Vertikal maupun RSUD) sudah menjadi BLU/BLUD. Positioning saat ini dimana tahun 2011 sudah hampir berakhir, semua Rumah Sakit berusaha mempersiapkan diri untuk menjadi BLU/BLUD dengan persiapan yang minim. (PERSI, 2011)
Dengan perubahan sistem keuangan Rumah Sakit serta sistem keuangan Pemerintah secara keseluruhan diharapkan dana yang dikelola oleh Rumah Sakit akan menjadi lebih besar dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta persiapan Badan Layanan Umum dari tahun ke tahun. Kondisi ini selain akan membawa pengaruh positif bagi peningkatan pelayanan, tetapi juga membuka peluang untuk timbulnya ekses negatif penyalahgunaan dalam pengelolaan keuangan negara. Untuk itu diperlukan berbagai upaya dalam mengatasinya. (Henni Djuhaeni, 2006)
Paradigma baru tentang pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil (mutu layanan), profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi. (PERSI, 2011)
Pada tahun 2005 dikeluarkan PP No. 23/2005 dan Permendagri No 61/2007 yang mengatur tentang pengelolaan keuangan pada BLU dimana semua Rumah Sakit pemerintah harus berubah statusnya menjadi BLU/BLUD. Aturan ini menjadi landasan hukum bagi RS pemerintah untuk lebih otonom dibidang keuangan. Dengan demikian, prinsip efisiensi harus menjadi bagian dari sistem manajemen. Ini juga menjadi starting point untuk meningkatkan sistem manajemen di rumah sakit pemerintah dalam pengelolaan yang lebih berjiwa enterpreneurship dengan menerapkan konsep bisnis secara sehat. PP No 23/2005 dan Permendagri No 61/2007 secara eksplisit menyebutkan bahwa ada persyaratan substanif, teknis dan administratif bagi BLU, termasuk RS, Bapelkes, Puskesmas dan organisasi pelayanan kesehatan lainnya. Persyaratan administratif sesuai dengan UU No. 23/2005 maupun Permendagri No 61/2007 tersebut adalah dokumen-dokumen berikut: 1) Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat bagi masyarakat; 2) Pola tata kelola (hospital by law dan clinical by law); 3) Rencana strategis bisnis (Renstra); 4) Laporan keuangan pokok; 5) Standar pelayanan minimum (SPM); 6) Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. (PERSI, 2011)
Selain tersebut di atas, ada beberapa prasyarat lain yang harus dipersiapkan segera untuk mendukung pola pengelolaan keuangan BLU yaitu : 1) Pola tarif berbasis unit cost dan mutu layanan (Unit Cost dan Tarif); 2) RBA (Rencana Bisnis Anggaran) berbasis akuntansi biaya; 3) Remunerasi; 4) Sistem Akuntansi dan Keuangan Lembaga-lembaga pelayanan publik seperti RS, Bapelkes, Puskesmas dan sebagainya membutuhkan status BLU untuk meningkatkan kinerjanya. (PERSI, 2011)
Namun saat ini berbagai daerah masih memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan PP No. 23/2005 maupun Permendagri 61/2007 bagi lembaga-lembaga tersebut. Demikian juga dengan konsekuensi lain jika RSD menjadi BLU, yang saat ini belum diatur dalam PP No. 23/2005 maupun Permendagri 61/2007 tersebut. Dibutuhkan upaya yang keras dan hati-hati untuk mempersiapkan lembaga-lembaga pelayanan publik di daerah untuk menjadi BLU/BLUD. Persyaratan substantif, teknis maupun administratif yang dicantumkan dalam PP No. 23/2005 maupun Permendagri 61/2007 bukan sekedar dokumen-dokumen kelengkapan yang harus disediakan oleh manajemen RS. Dalam berbagai persyaratan tersebut terkandung janji yang harus dipenuhi dalam suatu periode tertentu, yang tidak mudah dipenuhi jika tidak dibarengi dengan konsistensi dan komitmen yang tinggi. Namun demikian, mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung itupun merupakan tantangan tersendiri bagi rumah sakit. (PERSI, 2011)
Sesuai dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang pada prinsipnya mengatur bahwa instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pola pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk memperkerjakan tenaga profesional Non-PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta pertanggungjawabannya. (KEMDIKBUD, 2012)
Akuntansi Rumah Sakit yang merupakan salah satu kegiatan dari manajemen keuangan adalah salah satu sasaran pertama yang harus diperbaiki agar dapat memberikan data dan informasi yang akan mendukung para manajer Rumah Sakit dalam pengambilan keputusan maupun pengamatan serta pengendalian kegiatan Rumah Sakit. (Henni Djuhaeni, 2006)
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas lebih lanjut pada bab pembahasan mengenai bagaiamana akuntansi Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU).

1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada penulisan karya tulis ini adalah :
a.         Apakah yang dimaksud dengan Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU)?
b.         Apa yang menjadi dasar hukum BLU?
c.         Apa saja yang menjadi persyaratan BLU?
d.        Bagaimana pola pengelolaan keuangan BLU?
e.         Bagaimana tarif dan biaya satuan BLU?
f.          Bagaimana perencanaan dan penganggaran BLU?
g.         Bagaimana pengelolaan keuangan dan barang BLU?
h.         Bagaimana penyelesaian kerugian BLU?
i.           Bagaimana akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban BLU?
j.           Bagaimana pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan BLU?
k.         Apa manfaat akuntansi Rumah Sakit sebagai BLU?

1.3    Tujuan
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui akuntansi Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU) serta konsep secara umum mengenai akuntansi BLU

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Rumah Sakit Sebagai Badan Layanan Umum (BLU)
Badan layanan umum (BLU) adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Berdasarkan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya berdasarkan kaidah manajemen yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban.
Secara umum asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
Asas BLU yang lainnya adalah:
a.         Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada pimpinan instansi induk,
b.         BLU tidak mencari laba,
c.         Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
d.        Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bias mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien.  Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif  Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
Rumah Sakit Sebagai BLU ditinjau dari aspek pelaporan keuangan dan pertanggungjawabannya bahwa paket undang-undang bidang keuangan Negara merupakan paket reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaan. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, member landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja dalam penganggaran di lingkungan pemerintah. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya member pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas dalam segala aktivitasnya. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja). Peluang ini secara khusus menyediakan kesempatan bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, untuk membedakannya dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.
Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan keuangan kementerian negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP No. 23 tahun 2005, maka rumah sakit pemerintah daerah dalam rangka pertanggung jawaban atas pengelolaan keuangan dan kegiatan pelayanannya, menyusun dan menyajikan : 1) Laporan Keuangan; dan 2) Laporan Kinerja.Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari: (1) Laporan Realisasi Anggaran dan atau Laporan Operasional; (2) Neraca; (3) Laporan Arus Kas; dan (4) Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada entitas pelaporan direview oleh satuan pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan pemeriksaan intern, review dilakukan oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/ lembaga. Review ini dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh auditor eksternal.
Dengan implementasi perubahan kelembagaan menjadi badan layanan umum, dalam aspek teknis keuangan diharapkan rumah sakit akan memberi kepastian mutu dan kepastian biaya menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih baik. Pendapatan dan belanja BLU tetap merupakan bagian APBD dengan aset yang tidak dipisahkan. Namun lembaga ini tidak mengutamakan mencari keuntungan semata, lebih memprioritaskan pelayanan masyarakat. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam pembiayaan juga tetap. BLU di sini beroperasi sebagai unit kerja pemerintah daerah  bertujuan memberikan layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk bersangkutan. Sesuai dengan asas yang diamanatkan, BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang  telah menjadi BLU/ BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
Rumah sakit BLU memperoleh dana APBN untuk biaya operasional dan belanja modal. Biaya operasional biasanya digunakan untuk biaya gaji pegawai dan biaya pemeliharaan aktiva tetap. Sedangkan belanja modal adalah pengeluaran untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung, yang dikapitalisasi di Neraca dan dicatat sebagai penambahan Aktiva Tetap. Pada saat pembuatan RBA, BLU mengajukan rencana bisnis dan anggaran ke departemen induk untuk mendapat persetujuan. Departemen induk akan memasukkan anggaran yang diminta dalam Rencana Kerja dan Anggaran (selanjutnya disebut RKA) departemen yang bersangkutan. RBA BLU dikonsolidasikan dengan RKA dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RKA Kementerian/Lembaga.

2.2    Dasar Hukum BLU
2.2.1    Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
a.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
b.        Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 68 dan 69;
c.         Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
d.        Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
2.2.2    Peraturan Menteri Keuangan
a.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.02/2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi
b.        Pemerintah untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007);
c.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum;
d.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas pada Badan Layanan Umum (dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007);
e.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2007;
f.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum (dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.05/2009);
g.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum;
h.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Pembentukan Dewan Pengawas pada Badan Layanan Umum;
i.          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
j.          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU;
k.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir Pada Kementrian Negara/Lembaga (diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.05/2009);
l.          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Revisi DIPA untuk Satuan Kerja BLU Tahun Anggaran 2008;
m.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.05/2009 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum (dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011);
n.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.05/2009 tentang Pengelolaan Pinjaman pada BLU;
o.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.05/2009 tentang Pedoman Pemberian Bonus Atas Prestasi bagi Rumah Sakit Eks-Perjan yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
p.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.05/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir Pada Kementrian Negara/Lembaga;
q.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.05/2009 tentang Penghapusan Piutang BLU;
r.          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum;
2.2.3    Peraturan Dirjen Perbendaharaan
a.         Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-30/PB/2011 tentang Mekanisme Pengesahan Pendapatan dan Belanja Satuan Kerja Badan Layanan Umum;
b.        Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-55/PB/2011 tentang Tata Cara Revisi Rencana Bisnis dan Anggaran Definitif dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum;

2.3    Persyaratan BLU
2.3.1    Persyaratan Substantif
a.         Menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi yang berhubungan dengan:
1)   Penyediaan barang atau jasa layanan umum, seperti pelayanan di bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengembangan (litbang);
2)   Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum seperti otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet); atau
3)   Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi atau pelayanan kepada masyarakat, seperti pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah.
b.        Bidang layanan umum yang diselenggarakan bersifat operasional yang menghasilkan semi barang/jasa publik (quasi public goods)
c.         Dalam kegiatannya tidak mengutamakan keuntungan.
2.3.2    Persyaratan Teknis
a.         Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
b.        Kinerja keuangan satker instansi yang bersangkutan sehat sebagaimana ditunjukan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
2.3.3.   Persyaratan Administratif
a.         Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat.
Pernyataan tersebut disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 dan bermaterai, ditandatangani oleh pimpinan satker Instansi Pemerintah yang mengajukan usulan untuk menerapkan PPK-BLU dan disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga terkait.
b.        Pola tata kelola.
Merupakan peraturan internal satuan kerjaInstansi Pemerintah yang menetapkan:
1)   organisasi dan tata laksana, yang memuat antara lain struktur organisasi, prosedur kerja, pengelompokan fungsi yang logis, ketersediaan dan pengembangan sumber daya manusia;
2)   akuntabilitas, yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada satuan kerja Instansi Pemerintah bersangkutan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik, meliputi akuntabilitas program, kegiatan, dan keuangan;
3)   transparansi, yaitu adanya kejelasan tugas dan kewenangan, dan ketersediaan informasi kepada publik.
c.    Rencana strategis bisnis, mencakup:
1)    visi, yaitu suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan;
2)    misi, yaitu sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi yang ditetapkan, agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik;
3)    program strategis, yaitu program yang berisi proses kegiatan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul; dan
4)    kesesuaian visi, misi, program, kegiatan, dan pengukuran pencapaian kinerja;
5)    indikator kinerja lima tahunan berupa indikator pelayanan, keuangan, administrasi, dan SDM;
6)    pengukuran pencapaian kinerja, yaitu pengukuran yang dilakukan dengan menggambarkan apakah hasil kegiatan tahun berjalan dapat tercapai dengan disertai analisis atas faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tercapainya kinerja tahun berjalan.
d.        Laporan keuangan pokok, terdiri atas:
1)   Kelengkapan laporan:
a)        Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional Keuangan, yaitu laporan yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola, serta menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam suatu periode pelaporan yang terdiri atas unsur pendapatan dan belanja;
b)        Neraca/Prognosa Neraca, yaitu dokumen yang menggambarkan posisi keuangan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu;
c)        Laporan Arus Kas, yaitu dokumen yang menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasional, investasi, dan transaksi nonanggaran yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas selama periode tertentu;
d)       Catatan atas Laporan Keuangan, yaitu dokumen yang berisi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca/Prognosa Neraca, dan Laporan Arus Kas, disertai laporan mengenai kinerja keuangan.
2)   Kesesuaian dengan standar akuntansi;
3)   Hubungan antarlaporan keuangan.
4)   Kesesuaian antara keuangan dan indikator kinerja yang ada di rencana strategis;
5)   Analisis laporan keuangan.
e.         Standar Pelayanan Minimum (SPM) merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh satuan kerja instansi pemerintah untuk menerapkan PK BLU.
SPM ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan biaya serta kemudahan memperoleh layanan.
SPM sekurang-kurangnya mengandung unsur:
1)   Jenis kegiatan atau pelayanan yang diberikan oleh satker. Jenis kegiatan merupakan pelayanan yang diberikan oleh satker baik pelayanan ke dalam (satker itu sendiri) maupun pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Jenis kegiatan ini merupakan tugas dan fungsi dari satker yang bersangkutan.
2)   Rencana Pencapaian SPM. Satuan kerja menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan peraturan yang ada.
3)   Indikator pelayanan. SPM menetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM.
4)   Adanya tanda tangan pimpinan satuan kerja yang bersangkutan dan menteri/pimpinan lembaga.
f.         Laporan audit terakhir, merupakan laporan auditor tahun terakhir sebelum satuan kerja instansi pemerintah yang bersangkutan diusulkan untuk menerapkan PK BLU. Dalam hal satuan kerja instansi pemerintah tersebut belum pernah diaudit, satuan kerja instansi pemerintah dimaksud harus membuat pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen yang disusun dengan mengacu pada formulir yang telah ditetapkan.

2.4    Pola Pengelolaan Keuangan BLU
Pola pengelolaan keuangan pada BLU merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Yang dimaksud dengan praktik bisnis yang sehat adalah proses penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
Instansi pemerintah yang melakukan pembinaan terhadap pola pengelolaan keuangan BLU adalah Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Ditjen Perbendaharaan.



2.5    Tarif dan Biaya Satuan BLU
2.5.1    Tarif
Satker berstatus BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana yang dapat bertujuan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya per unit layanan. Tarif layanan tersebut dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis layanan BLU yang bersangkutan. Apabila BLU memiliki jenis layanan yang tidak terlalu banyak, maka cukup memiliki tarif berupa angka mutlak ataupun kisaran tarif. Apabila BLU memiliki jenis layanan yang banyak dan bersifat kompleks, seperti rumah sakit, maka tarifnya berupa pola tarif untuk kelompok layanan.
Tarif layanan diusulkan oleh BLU bersangkutan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, kemudian Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan tarif tersebut kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Dalam penetapan tarif dimaksud, Menteri Keuangan dibantu oleh suatu tim dan dapat menggunakan narasumber yang berasal dari sektor terkait.
Hal-hal yang wajib dipertimbangkan dalam menyusun tarif adalah sebagai berikut: 1) Kontinuitas dan pengembangan layanan; 2) Daya beli masyarakat; 3) Asas keadilan dan kepatutan; 4) Kompetisi yang sehat.
2.5.2    Biaya Satuan
Dalam penyusunan tarif dan biaya layanan, terlebih dahulu ditentukan biaya satuan per unit output dari layanan atau kegiatan BLU. Biaya satuan dibuat berdasarkan perhitungan akuntansi biaya untuk setiap output barang/jasa yang dihasilkan.
Dalam rangka penyusunan biaya satuan per unit layanan, maka perlu diperhitungkan biaya-biaya yang timbul, yaitu:
a.         Biaya langsung; adalah biaya-biaya yang secara khusus dapat ditelusuri atau diidentifikasi sebagai komponen langsung dari biaya produk. Total biaya langsung ini dalam beberapa literatur juga sering disebut dengan istilah biaya utama (prime cost).
b.        Biaya tidak langsung adalah semua biaya yang tidak dapat diidentifikasi secara khusus terhadap suatu produk dan dibebankan kepada seluruh jenis produk secara bersamaan. Biaya tidak langsung ini sering disebut juga dengan istilah biaya overhead (overhead cost).
c.         Biaya variabel adalah biaya yang berubah secara total seiring dengan berubahnya volume produk yang dibuat. Sehingga hubungan antara total biaya variabel dengan total unit barang yang diperoduksi adalah linier (garis lurus). Sedangkan biaya per unit-nya adalah tetap. Contoh: Biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung.
d.        Biaya tetap (fixed cost), seperti biaya penyusutan dan biaya sewa akan selalu tetap (constant) dalam suatu rentang waktu/periode tertentu. Perlu dicatat bahwa biaya tetap akan selalu konstan pada semua tingkat produksi (volume), sedangkan biaya tetap per unit akan menurun seiring dengan meningkatnya volume produksi.
Langkah-langkah perhitungan biaya satuan adalah sebagai berikut:
a.         Menentukan kegiatan berdasarkan program yang telah ditetapkan;
b.        Menentukan indikator kinerja berupa keluaran (output), tolok ukur kinerja, dan target kinerja;
c.         Untuk satu jenis keluaran, tentukan jenis biaya dan besaran biaya per unit output. Jenis biaya dapat berupa: biaya langsung variabel, biaya langsung tetap, biaya tidak langsung variabel, dan biaya tidak langsung tetap.
d.        Menghitung biaya per jenis kegiatan dengan mengalikan rincian biaya dengan satuan biaya.
e.         Menjumlahkan seluruh komponen biaya untuk mendapatkan satuan biaya per kegiatan.

2.6    Perencanaan dan Penganggaran BLU
2.6.1    Rencana Strategis Bisnis
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L). Rencana strategis bisnis merupakan istilah yang pengertiannya sama dengan Renstra bagi instansi pemerintah. Oleh karena itu penyusunan rencana strategis bisnis berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Sesuai dengan Inpres tersebut, rencana strategis mengandung visi, misi, tujuan/sasaran, dan program yang realistis dan mengantisipasi masa depan yang diinginkan dan dapat dicapai.
2.6.2    Penyusunan Rencana Bisnis dan Anggaran
Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU memuat antara lain:
a.         Kondisi kinerja BLU tahun berjalan;
b.        Asumsi makro dan mikro;
c.         Target kinerja (output yang terukur);
d.        Analisis dan perkiraan biaya per output dan agregat;
e.         Perkiraan harga dan anggaran;
f.         Prognosa laporan keuangan.
Perencanaan dan penganggaran BLU pada prinsipnya tidak berbeda dengan perencanaan dan penganggaran pada kementerian/lembaga.
2.6.3    Pengintegrasian Rencana Bisnis dan Anggaran dalam RKA-K/L
RKA-K/L sebagai dokumen usulan anggaran (budget request) memuat sasaran terukur yang penyusunannya dilakukan secara berjenjang dari tingkat kantor/satuan kerja ke tingkat yang lebih tinggi (bottom-up) untuk melaksanakan penugasan dari menteri/pimpinan lembaga (top down). Dengan demikian dalam menyusun suatu Rencana Kerja dan Anggaran BLU harus menerapkan anggaran berbasis kinerja.
BLU sebagai satuan kerja merupakan bagian dari kementerian negara/lembaga. Oleh karena itu pengintegrasian RBA BLU ke dalam RKA-K/L dilakukan oleh kementerian negara/lembaga bersangkutan. Tata cara pengintegrasian RBA kedalam RKA-K/L berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
2.6.4    Pelaksanaan Anggaran
2.6.4.1      Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Setelah RKA-KL dan Undang-undang APBN disahkan, pimpinan BLU menyesuaikan usulan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) menjadi RBA Definitif. RBA definitif digunakan sebagai acuan dalam menyusun DIPA BLU untuk diajukan dan mendapat pengesahan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.
DIPA BLU sekurang-kurangnya memuat: 1) seluruh pendapatan dan belanja BLU; 2) proyeksi arus kas; 3) jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan; 4) rencana penarikan dana yang bersumber dari APBN; 5) besaran persentase ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam RBA definitif.
Dalam hal DIPA BLU belum disahkan oleh Menteri Keuangan, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu.
DIPA BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan menjadi lampiran dari contractual performance agreement yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembaga dengan pimpinan BLU yang bersangkutan dan sekaligus menjadi dasar penarikan dana.
2.6.4.2      Pengelolaan PNBP
Pengelolaan PNBP pada BLU mengikuti pedoman sebagai berikut.
a.         Penggunaan PNBP
1)        Pada BLU Penuh yaitu satuan kerja berstatus BLU Penuh diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan, antara lain dapat langsung menggunakan seluruh PNBP dari pendapatan operasional dan nonopersaional, di luar dana yang yang bersumber dari APBN, sesuai RBA tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara. Apabila PNBP melebihi target yang ditetapkan dalam RBA tetapi masih dalam ambang batas fleksibilitas, kelebihan tersebut dapat digunakan langsung mendahului pengesahan revisi DIPA. Terhadap kelebihan PNBP yang melampaui ambang batas fleksibilitas, dapat digunakan dalam tahun berjalan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perbendaharaan atau menjadi saldo awal tahun berikutnya.
2)        Pada BLU Bertahap yaitu Satker berstatus BLU Bertahap dapat menggunakan PNBP sebesar persentase yang telah ditetapkan. Sedangkan PNBP yang dapat digunakan langsung adalah sebesar persentase yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan satker yang menerapkan PK-BLU yang bersangkutan. Satker berstatus BLU Bertahap menyetor penerimaan PNBP yang tidak digunakan langsung ke Rekening Kas Negara secepatnya. PNBP yang telah disetor dapat dipergunakan kembali sebesar selisih antara PNBP yang dapat digunakan dengan PNBP yang telah digunakan langsung.
b.         Pertanggungjawaban Pengunaan PNBP oleh BLU
Satker BLU mempertanggungjawabkan pengggunaan PNBP secara langsung dengan menyampaikan SPM Pengesahan kepada KPPN setiap triwulan selambat-lambatnya tanggal 10 setelah akhir triwulan yang bersangkutan dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab (SPTJ) yang ditandatangani oleh pimpinan BLU. Berdasarkan SPM pengesahan tersebut, KPPN menerbitkan SP2D sebagai pengesahan penggunaan dana PNBP. Pertanggungjawaban penggunaan dana PNBP selain yang digunakan langsung oleh satker yang berstatus BLU Bertahap menggunakan mekanisme pertanggungjawaban PNBP sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan yang berlaku (mengakomodasi perubahan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005).
2.6.4.3      Revisi Anggaran
DIPA BLU ataupun RBA Definitif apabila diperlukan dapat direvisi. Perubahan/revisi terhadap DIPA BLU atau RBA Definitif dapat dilakukan jika: 1) Terdapat perubahan/pergeseran program atau kegiatan BLU; 2) Terdapat penambahan atau pengurangan pagu anggaran yang berasal dari APBN; 3) Belanja BLU melampaui ambang batas fleksibilitas; 4) Belanja BLU sampai dengan ambang batas fleksibilitas.
Tata cara perubahan/revisi yang berhubungan dengan penganggaran dan perubahan program dan/atau kegiatan BLU berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 atau Peraturan Menteri Keuangan (Nomor ?) tentang Mekanisme Revisi DIPA Kementerian Negara/Lembaga dan RBA serta pelaksanaan anggaran BLU.
Perubahan/revisi sebagaimana dimaksud pada angka 4 dapat dilakukan setelah belanja dilaksanakan. Perubahan tersebut dapat dilaksanakan sebelum akhir tahun anggaran dalam bentuk pengesahan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
2.6.4.4      Surplus dan Defisit BLU
Surplus anggaran BLU adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Estimasi surplus dalam tahun anggaran berjalan diperhitungkan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke rekening kas umum negara dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.
Defisit anggaran BLU adalah selisih kurang antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran.
Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan melalui Menteri/Pimpinan Lembaga. Menteri Keuangan dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN tahun anggaran berikutnya.

2.7    Pengelolaan Keuangan dan Barang BLU
2.7.1    Pengelolaan Kas
Pengelolaan kas BLU dilakukan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. Dalam melaksanakan pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut :
a.         Perencanaan penerimaan dan pengeluaran kas;
b.        Pemungutan pendapatan atau tagihan;
c.         Penyimpanan kas dan mengelola rekening bank;
d.        Pembayaran;
e.         Perolehan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
f.         Pemanfaatan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Pengelolaan kas BLU dapat dilakukan melalui:
a.         Penarikan dana yang bersumber dari APBN dengan menerbitkan SPM;
b.        Pembukaan Rekening Bank BLU oleh pimpinan BLU, sesuai dengan ketentuan yang berlaku kecuali dalam rangka cash management;
c.         Investasi jangka pendek dalam rangka cash management (jika terjadi surplus kas) pada instrumen keuangan dengan resiko rendah.
2.7.2    Pengelolaan Piutang
Dalam pengelolaan keuangan, BLU dapat memberikan piutang terkait dengan kegiatannya, yang dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang. Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.7.3    Pengelolaan Utang
Dalam kegiatan operasional dengan pihak lain, BLU dapat memiliki utang yang dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. Pembayaran utang BLU pada prinsipnya menjadi tanggung jawab BLU.
Pengelolaan utang harus sesuai dengan peruntukannya, utang jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional, sedangkan utang jangka panjang hanya untuk belanja modal.
Hak tagih atas utang BLU kadaluarsa setelah lima tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh UU.
Perikatan peminjaman/utang dilakukan sesuai dengan jenjang kewenangan yang diatur oleh Menteri Keuangan.
2.7.4    Pengelolaan Investasi
BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan. Investasi jangka panjang yang dimaksud antara lain adalah penyertaan modal, pemilikan obligasi untuk masa jangka panjang, atau investasi langsung (pendirian perusahaan). Jika BLU mendirikan/membeli badan usaha yang berbadan hukum, kepemilikan badan usaha tersebut ada pada Menteri Keuangan. Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU.
2.7.5    Pengelolaan Barang
Pengadaan barang dan jasa pada BLU secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.02/2006, antara lain sebagai berikut:
a.         Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada BLU harus dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.
b.        BLU Penuh dapat diberikan fleksibilitas berupa pembebasan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah (Keppres 80/2003) bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. Fleksibilitas sebagaimana dimaksud diberikan terhadap pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari: 1) jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat; 2) hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain; dan/atau 3) hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya.
Pengadaan barang/jasa tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil/tidak diskriminatif, akuntabilitas, dan praktek bisnis yang sehat.
a.         Untuk pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari hibah terikat dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan pengadaan dari pemberi hibah, atau mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku bagi BLU sepanjang disetujui oleh pemberi hibah.
b.        Dalam penetapan penyedia barang/jasa, Panitia Pengadaan terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan tertulis dari :
1)      Pemimpin BLU untuk pengadaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
2)      Pejabat lain yang ditunjuk oleh Pemimpin BLU untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
c.         Penunjukan pejabat lain sebagaimana dimaksud pada huruf d 2) dengan melibatkan semua unsur Pejabat Pengelola BLU dan harus memperhatikan prinsip-prinsip:
1)      objektivitas, yaitu penunjukan yang didasarkan pada aspek integritas moral, kecakapan pengetahuan mengenai proses dan prosedur pengadaan barang/jasa, tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;
2)      independensi, yaitu menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan dengan pihak terkait dalam melaksanakan penunjukan pejabat lain, langsung maupun tidak langsung; dan
3)      saling uji (cross check), yaitu berusaha memperoleh informasi dari sumber yang berkompeten, dapat dipercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mendapatkan keyakinan yang memadai dalam melaksanakan penunjukan pejabat lain.
2.7.6    Pengelolaan Aset BLU
a.         Barang inventaris BLU dapat dihapuskan dan/atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan, berdasarkan pertimbangan ekonomis dan dilaporkan secara berkala kepada menteri/pimpinan lembaga;
b.        BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c.         Penerimaan hasil penjualan barang inventaris/aset tetap merupakan pendapatan BLU;
d.        Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat Pengelola Barang (Menteri Keuangan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.         Tanah dan bangunan disertifikatkan atas nama kementerian/lembaga terkait;
f.         Tanah dan bangunan yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi BLU, dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan lembaga terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan.

2.8    Penyelesaian Kerugian BLU
     Setiap kerugian negara pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.

2.9    Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban BLU
2.9.1    Akuntansi
BLU menyelenggarakan akuntansi sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntan Indonesia, jika tidak ada standar akuntansi BLU yang bersangkutan dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga.
2.9.2    Pelaporan
BLU menyampaikan laporan keuangan setiap triwulan kepada menteri/pimpinan lembaga berupa Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan dan Laporan keuangan yang lengkap (termasuk neraca dan ikhtisar laporan keuangan) pada setiap semester dan tahunan. Laporan-laporan tersebut disampaikan paling lambat satu bulan setelah periode pelaporan berakhir. Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan dikonsolidasikan oleh BLU dan menjadi lampiran laporan keuangan BLU.
Laporan keuangan BLU dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian/lembaga sesuai standar akuntansi pemerintahan dan diaudit oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.9.3    Pertanggungjawaban
Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas keberhasilan pencapaian sasaran program berupa hasil (political accountability), sedangkan pimpinan BLU bertanggung jawab atas keberhasilan pencapaian sasaran kegiatan berupa keluaran (operational accountability) dan terhadap kinerja BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.

2.10 Pembinaan, Pengawasan, dan Pemeriksaan BLU
2.10.1  Pembinaan
Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga, sedangkan pembinaan di bidang keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan.
2.10.2  Pengawasan
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan BLU dapat dibentuk dewan pengawas. Pembentukan dewan pengawas hanya berlaku pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan (menurut laporan realisasi anggaran) atau nilai aset (menurut neraca) memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2.10.3  Pengertian dan Tugas Dewan Pengawas
Dewan pengawas BLU bertugas melakukan pengawasan terhadap pengurusan BLU oleh Pejabat Pengelola BLU mengenai pelaksanaan Rencana Bisnis dan Anggaran, Rencana Strategis Bisnis Jangka Panjang, dan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dewan pengawas BLU di lingkungan Pemerintah Pusat berkewajiban: 1) memberikan pendapat dan saran kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan mengenai Rencana Bisnis dan Anggaran yang diusulkan oleh Pejabat Pengelola BLU; 2) mengikuti perkembangan kegiatan BLU, memberikan pendapat dan saran kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan BLU; 3) melaporkan kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan apabila terjadi gejala menurunnya kinerja BLU; dan 4) memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola BLU dalam melaksanakan pengurusan BLU.
Dewan pengawas melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam satu semester dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
2.10.4  Pembentukan dan Pengangkatan Dewan Pengawas
Pembentukan dewan pengawas berlaku hanya pada BLU yang memiliki : 1) realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran tahun terakhir, minimum sebesar Rp15.000.000.000; atau 2) nilai aset menurut neraca, minimum sebesar Rp75.000.000.000.
Dewan Pengawas untuk BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. Anggota Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat dari kementerian /lembaga, kementerian keuangan, serta tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLU.
Masa jabatan anggota Dewan Pengawas ditetapkan selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan pejabat pengelola BLU, kecuali pengangkatan untuk pertama kali pada waktu pembentukan BLU.

2.10.5  Persyaratan Jumlah Keanggotaan Dewan Pengawas
a.         Jumlah anggota dewan pengawas ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk BLU yang memiliki :
1)      realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran sebesar Rp15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah) sampai dengan Rp30.000.000.000,- (tiga puluh miliar rupiah); dan/atau
2)      nilai aset menurut neraca sebesar Rp 75.000.000.000,- (tujuh puluh lima miliar rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).
b.        Jumlah anggota dewan pengawas dapat ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang untuk BLU yang memiliki :
1)      realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran lebih besar dari Rp 30.000.000.000,- (tiga puluh miliar rupiah); dan/atau
2)      nilai aset menurut neraca lebih besar dari Rp 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).
c.         Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas adalah orang perseorangan dengan ketentuan:
1)      memiliki integritas, dedikasi, dan memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan BLU, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; dan
2)      mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi anggota direksi atau komisaris atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu badan usaha pailit, atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.


2.10.6  Pemberhentian
Anggota Dewan Pengawas diberhentikan setelah masa jabatannya berakhir oleh menteri/pimpinan lembaga.
Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan, apabila terbukti: 1) tidak melaksanakan tugasnya dengan baik; 2) tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan; 3) terlibat dalam tindakan yang merugikan BLU; 4) dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana kejahatan dan/atau kesalahan yang berkaitan dengan tugasnya melaksanakan pengawasan atas BLU; atau 5) berhalangan tetap.
2.10.7  Pemeriksanaan
Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern (SPI) yang merupakan unit kerja dan berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU, sedangkan pemeriksaan ekstern dilaksanakan oleh lembaga pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.10.8  BLU Daerah
BLU Daerah adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip usaha seperti BLU Pusat, yaitu tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

2.11 Manfaat Akuntansi di Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU)
     Fungsi utama akuntansi di Rumah sakit adalah sebagai sumber informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam pemecahan masalah dan perencanaan untuk keberhasilan pengembangan Rumah Sakit.
Secara umum akuntansi tidak lepas dari biaya (cost), dengan perhitungan biaya yang berbeda akan menghasilkan akuntansi biaya yang berbeda pula serta berdampak pada pengambilan keputusan yang berbeda.
Dengan demikian untuk pengambilan keputusan yang tepat serta keberhasilan perencanaan diperlukan sistem dan pelaksanaan akuntansi Rumah Sakit secara optimal.


 BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Sistem akuntansi Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk memberikan informasi yang sangat penting dalam pengambilan keputusan untuk keberhasilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan serta perencanaan, terlebih lagi saat ini yang mana Rumah Sakit telah ditetapkan sebagai Penerima Negara Bukan Pajak (PNBP) ataupun sebagai Badan Layanan Umum yang penerimaannya harus disetor ke Negara melalui Kantor Kas Negara.
Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan di tindaklanjuti dengan peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2005 telah memberikan fleksibelitas berupa keleluasaan untuk menrapkan praktik-praktik bisnis sehat kepada instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengeloalaan keuangan negara pada umumnaya. Fleksibelitas ini berupa keleluasaan untuk menggunakan PNBP yang diperolehnya, keleluasaan untuk pengadaan barang atau jasa serta keleluasaan untuk merekrut pegawai profesiaonal non PNS sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi BLU yang bersangkutan

3.2    Saran
Dengan adanya fleksibelitas yang begitu luas diberikan oleh pemerintah diharapkan permeriksaan dan pengawasaan BLU ini juga ditinggkatka agar praktik-praktik bisnis yang sehat dalam penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah manajemen yang baik dapat dilaksanakan sehingga kebocoran dan penyimpangan yang mungkin terjadi dapat dicegah dan diantisipasi sedini mungkin

DAFTAR PUSTAKA

Armen, F., Azwar, V. 2013. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Rumah Sakit. Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Anonim. 2012. Akuntansi Badan Layanan Umum. Diakses tanggal 31 Oktober 2013, http://dcmaria.wordpress.com/2012/09/18/akuntansi-badan-layanan-umum-blu/
Anonim. 2012. Rumah Sakit Sebagai Badan Layanan Umum. Diakses tanggal 31 Oktober 2013, http://www.rhyerhiathy.wordpress.com/2012/12/25/rssebagaibl/
Chalidyanto, Dzajuly. 2013. Rumah Sakit Pemerintah sebagai Badan Layanan Umum (BLU), Apakah Mendukung Universal Coverage ??. FKM Universitas Airlangga, Surabaya.
Djuhaeni, Henni. 2006. Akuntansi Rumah Sakit.
Djuhaeni, Henni. 2006. Sistem Penganggaran Rumah Sakit.
Jamiat. 2002. Analisis Sistem Manajemen Piutang Pasien Perusahaan di Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Juanita. 2002. Jaring Perlindungan Sosial Bidang Kesehatansebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Sumatera Utara, Medan.
Meidyawati. 2010. Analisis Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Kepmenkes RI No. 1165 Tahun 2007 Tentang Pola Tarif Rumah Sakit Badan Layanan Umum.
PERSI. 2011. Bimbingan Teknis Pola Pengelolaan Keuangan Pada Rumah Sakit Badan Layanan Umum (BLU/BLUD)menuju Rumah Sakit yang Efisien, bermutu, Akuntabel dan Auditable. Seminar dan Workshop, Jakarta.
PMK RI No. 76 Tahun 2008 Tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum
PMK RI No. 147 Tahun 2010 Tentang Perizinan Rumah Sakit
SETDITJEN BUK. 2011. Laporan Tahunan 2011. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.